LANDASAN TEORI PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
A. Pengertian dan Hakekat
Pemecahan Masalah
Terdapat banyak interpretasi tentang pemecahan masalah
dalam matematika. Di antaranya pendapat Polya (1985) yang banyak dirujuk
pemerhati matematika. Polya mengartikan pemecahan
masalah sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu
segera dapat dicapai. Sementara Sujono (1988) melukiskan
masalah matematika sebagai tantangan bila pemecahannya memerlukan kreativitas,
pengertian dan pemikiran yang asli atau imajinasi. Berdasarkan penjelasan
Sujono tersebut maka sesuatu yang merupakan masalah bagi seseorang,
mungkin tidak merupakan masalah bagi orang lain atau merupakan hal
yang rutin saja.
Ruseffendi (1991b) mengemukakan bahwa suatu soal
merupakan soal pemecahan masalah bagi seseorang bila ia memiliki pengetahuan
dan kemampuan untuk menyelesaikannya, tetapi pada saat ia memperoleh soal itu
ia belum tahu cara menyelesaikannya. Dalam kesempatan lain Ruseffendi (1991a)
juga mengemukakan bahwa suatu persoalan itu merupakan masalah bagi seseorang
jika: pertama, persoalan itu tidak dikenalnya. Kedua, siswa harus mampu
menyelesaikannya, baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuan siapnya; terlepas
daripada apakah akhirnya ia sampai atau tidak kepada jawabannya. Ketiga,
sesuatu itu merupakan pemecahan masalah baginya, bila ia ada niat untuk
menyelesaikannya.
Lebih spesifik Sumarmo (1994) mengartikan pemecahan
masalah sebagai kegiatan menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang
tidak rutin, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau
keadaan lain, dan membuktikan atau menciptakan atau menguji konjektur.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan Sumarmo tersebut, dalam pemecahan
masalah matematika tampak adanya kegiatan pengembangan daya matematika (mathematical
power)terhadap siswa.
Pemecahan masalah merupakan salah satu tipe
keterampilan intelektual yang menurut Gagné, dkk (1992) lebih tinggi derajatnya
dan lebih kompleks dari tipe keterampilan intelektual lainnya. Gagné, dkk
(1992) berpendapat bahwa dalam menyelesaikan pemecahan masalah diperlukan
aturan kompleks atau aturan tingkat tinggi dan aturan tingkat tinggi dapat
dicapai setelah menguasai aturan dan konsep terdefinisi. Demikian pula aturan
dan konsep terdefinisi dapat dikuasai jika ditunjang oleh pemahaman konsep
konkrit. Setelah itu untuk memahami konsep konkrit diperlukan keterampilan
dalam memperbedakan.
Keterampilan-keterampilan
intelektual tersebut digolongkan Gagné berdasarkan tingkat kompleksitasnya dan
disusun dari operasi mental yang paling sederhana sampai pada tingkat yang
paling kompleks. Keterampilan-keterampilan intelektual tersebut digambarkan
oleh Gagné, dkk (1992) secara hierarki seperti pada Gambar 1.
PEMECAHAN
MASALAH
|
melibatkan
pembentukan
|
ATURAN-ATURAN
TINGKAT TINGGI
|
membutuhkan
prasyarat
|
ATURAN
dan KONSEP-KONSEP TERDEFINISI
|
membutuhkan
prasyarat
|
KONSEP-KONSEP
KONKRIT
|
membutuhkan
prasyarat
|
MEMPERBEDAKAN
|
Gambar
1. Tingkat-tingkat Kompleksitas
|
|
dalam
Keterampilan Intelektual
Oleh karena itu dengan mengacu pada pendapat-pendapat
di atas, maka pemecahan masalah dapat dilihat dari berbagai pengertian. Yaitu,
sebagai upaya mencari jalan keluar yang dilakukan dalam mencapai tujuan. Juga
memerlukan kesiapan, kreativitas, pengetahuan dan kemampuan serta aplikasinya
dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu pemecahan masalah merupakan
persoalan-persoalan yang belum dikenal; serta mengandung pengertian
sebagai proses berfikir tinggi dan penting dalam
pembelajaran matematika.
Pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar yang harus
dikuasai oleh siswa. Bahkan tercermin dalam konsep kurikulum berbasis
kompetensi. Tuntutan akan kemampuan pemecahan
masalah dipertegas secara eksplisit dalam kurikulum tersebut yaitu,
sebagai kompetensi dasar yang harus dikembangkan dan diintegrasikan
pada sejumlah materi yang sesuai.
Pentingnya
kemampuan penyelesaian masalah oleh siswa dalam matematika ditegaskan juga oleh
Branca (1980),
1. Kemampuan menyelesaikan masalah merupakan tujuan
umum pengajaran matematika.
2. Penyelesaian masalah yang meliputi metode, prosedur
dan strategi merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika .
3. Penyelesaian masalah merupakan kemampuan dasar dalam
belajar matematika.
Pandangan bahwa kemampuan menyelesaikan masalah
merupakan tujuan umum pengajaran matematika, mengandung pengertian bahwa
matematika dapat membantu dalam memecahkan persoalan baik dalam pelajaran lain
maupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya kemampuan pemecahan masalah
ini menjadi tujuan umum pembelajaran matematika.
Pandangan pemecahan masalah sebagai proses inti dan
utama dalam kurikulum matematika, berarti pembelajaran pemecahan masalah lebih
mengutamakan proses dan strategi yang dilakukan siswa dalam menyelesaikannya
daripada hanya sekedar hasil.
Sehinggaketerampilan proses
dan strategi dalam
memecahkan masalah tersebut menjadi kemampuan
dasar dalam belajar matematika.Walaupun kemampuan pemecahan masalah merupakan
kemam-puan yang tidak mudah dicapai, akan tetapi oleh karena kepentingan dan
kegunaannya maka kemampuan pemecahan masalah ini hendaknya diajarkan kepada
siswa pada semua tingkatan. Berkaitan dengan hal ini, Ruseffendi (1991b)
mengemukakan beberapa alasan soal-soal tipe pemecahan masalah diberikan kepada
siswa,
(1)
dapat menimbulkan keingintahuan dan adanya motivasi, menumbuhkan sifat kreatif.
(2)
disamping memiliki pengetahuan dan keterampilan (berhitung dan lain-lain),
disyaratkan adanya kemampuan untuk terampil membaca dan membuat pernyataan yang
benar;
(3)
dapat menimbulkan jawaban yang asli, baru, khas, dan beraneka ragam, serta
dapat menambah pengetahuan baru;
(4)
dapat meningkatkan aplikasi dari ilmu pengetahuan yang sudah diperolehnya;
(5)
mengajak siswa memiliki prosedur pemecahan masalah, mampu membuat analisis dan
sintesis, dan dituntut untuk membuat evaluasi tehadap hasil pemecahannya;
(6)
merupakan kegiatan yang penting bagi siswa yang melibatkan bukan saja
satu bidang studi tetapi mungkin bidang atau pelajaran lain.
B. Langkah-Langkah Menyelesaikan Pemecahan Masalah
Matematika
Cara memecahkan masalah dikemukakan oleh beberapa
ahli, di antaranya Dewey dan Polya. Dewey (dalam Rothstein dan Pamela 1990)
memberikan lima langkah utama dalam memecahkan masalah,
1)
mengenali/menyajikan masalah: tidak diperlukan strategi pemecahan masalah jika
bukan merupakan masalah; 2) mendefinisikan masalah: strategi pemecahan masalah
menekan-kan pentingnya definisi masalah guna menentukan banyaknya kemungkinan
penyelesian; 3) mengembangkan beberapa hipote-sis: hipotesis adalah alternatif
penyelesaian dari pemecahan masalah; 4) menguji beberapa hipotesis:
mengevaluasi kele-mahan dan kelebihan hipotesis; 5) memilih hipotesis
yang terbaik.
Sebagaimana Dewey, Polya (1985) pun menguraikan proses
yang dapat dilakukan pada setiap langkah pemecahan masalah. Proses
tersebut terangkum dalam empat
langkah berikut: 1) memahami masalah (understanding
the problem). 2) merencanakan penyelesaian (devising a plan).
3) melaksanakan rencana (carrying out the plan). 4) memeriksa proses dan
hasil (looking back).
Lebih jauh Polya merinci setiap langkah di atas dengan
pertanyaan-pertanyaan yang menuntun seorang problem solver menyelesaikan
dan menemukan jawaban dari masalah. Sebagai contoh pada langkah memahami
masalah diajukan pertanyaan-pertanyaan: Apa yang tidak diketahui? Data apa yang
diberikan? Mungkinkah kondisi dinyatakan dalam bentuk persamaan
atau hubungan lainnya? Buatlah gambar dan
tulislah
notasi
yang sesuai.
Pada langkah merencanakan penyelesaian diajukan
pertanyaan di antaranya seperti: Pernah adakah soal seperti ini yang serupa
sebelumnya diselesaikan? Dapatkah pengalaman yang lama digunakan dalam masalah
yang sekarang?
Pada
langkah melaksanakan rencana diajukan pertanyaan: Periksalah bahwa tiap langkah
sudah benar? Bagaimana membuktikan bahwa langkah yang dipilih sudah benar?
Dalam langkah memeriksa hasil dan proses, diajukan pertanyaan: Dapatkah
diperiksa sanggahannya? Dapatkah jawaban itu dicari dengan cara lain?
Langkah-langkah penuntun yang dikemukakan Polya
tersebut, dikenal dengan strategi heuristik.Strategi yang
dikemukakan Polya ini banyak dijadikan acuan oleh banyak orang dalam
penyelesaian masalah matematika.
Berangkat
dari pemikiran yang dikemukakan oleh ahli tersebut, maka untuk menyelesaikan
masalah diperlukan kemampuan pemahaman konsep sebagai prasyarat dan kemampuan
melakukan hubungan antar konsep, dan kesiapan secara mental. Pada sisi lain
berdasarkan pengamatan Soleh (1998), salah satu sebab siswa tidak berhasil
dalam belajar matematika selama ini adalah siswa belum sampai pada pemahaman
relasi (relation understanding), yang dapat menjelaskan hubungan
antar konsep. Hal itu memberikan gambaran kepada kita adanya tantangan yang
tidak kecil dalam mengajarkan pemecahan masalah matematika.
Daftar Pustaka:
Branca, N.A (1980). Problem Solving as a
Goal, Process and Basic Skill. Dalam Krulik,S dan Reys,R.E (ed). Problem
Solving in School Mathematics. NCTM: Reston. Virginia
Gagné,R.M, Briggs, L.J dan Wager, W.W
(1992). Principles of Instructional Design (4nd ed).Orlando:
Holt, Rinehart and Winstone, Inc.
Polya, G (1985). How
to Solve It . A New Aspect of Mathematical
Method (2nd ed). Princeton, New Jersey : Princeton
University Press.
Rothstein dan Pamela,R (1990). Educational
Pyschology. Singapore: McGraw-Hill, Inc.
Ruseffendi,E.T (1991a). Pengantar
kepada Membantu Guru Mengem-bangkan Kompetensinyadalam Pengajaran Matematika
untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito
Ruseffendi,E.T (1991b). Penilaian
Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk
Guru dan Calon Guru. Bandung: Tidak diterbitkan.
Soleh,M (1998). Pokok-Pokok
Pengajaran Matematika Sekolah. Jakarta: Depdikbud
Sujono (1988). Pengajaran
Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK,
Depdikbud
Sumarmo,U, Dedy, E dan Rahmat (1994). Suatu
Alternatif Pengajaran untuk MeningkatkanPemecahan Masalah Matematika pada Guru
dan Siswa SMA. Laporan Hasil Penelitian FPMIPA IKIP Bandung